Minggu, 13 Februari 2011

Life is a struggle


My third short story
Today adalah hari yang membingungkanku. Di satu sisi aku sedih karena papa masuk RS tapi di sisi lain aku senang sekaligus bangga karena aku berhasil mendapatkan juara kelas lagi.
 Aku berharap papa bisa ikut merasakan kesenangan yang kurasakan hari ini.
Sepulangnya aku dari sekolahku aku langsung menghampiri ruang rawatnya papa. Aku sangat berharap kesembuhan papa. Tapi suasana rumah sakit mendadak sangat mencekam bagiku tidak seperti seminggu belakangan ini. Aku sangat meresahkan perasaanku yang nggak karuan itu. Aku hanya menghembuskan nafas panjang dan terus berjalan sambil berusaha menenangkan fikiranku. Aku menghentikan langkahku di depan pintu ruangan papa karena beberapa tim dokter keluar dari kamar papaku.
"Huuuuuuuu...... Papaaaaaa......!"Teriakan histeris itu spontan mendebarkan jantungku. Aku semakin merasa kacau. Suara itu berasal dari kamar papa yang kemungkinan suaranya mama. centang
Dengan spontan aku langsung mencegat salah seorang dokter. "Ada apa dok diruangannya papa?".
"Kamu yang sabar ya nak!" Ujarnya sangat sopan.
Karena jawaban dokter itu tidak memuaskanku aku kembali bertanya kepada salah seorang suster. Tapi jawabannya sama seperti apa yang dikatakan dokter itu.
"Ah, payah kalian!" Kataku kesal.
Dengan tenaga penuh aku membuka pintu ruangan papa yang ternyata mengejutkan mama tapi untung saja pintunya nggak rusak. Hahaha…Aku setres, dek-dekan, gelisah, galau, semuanya-lah dengan perlahan aku mendekati ranjang papa. Mama langsung bergeser untuk mempersilahkan aku untuk melihat papa. Mama pun langsung menahan isakkan tangisnya.
Aku melihat semua alat-alat yang biasanya terpasang di tubuh papa sudah dilepas. "Ma, papa udah boleh pulang ya? Kok udah dilepas semua alat medisnya?"
Mama mengangguk tapi mengeluarkan air mata tanpa isakkan.
"Yang bener ma, berarti papa bisa liat pialaku ma! Asikkkk....." kataku girang. "Kalau gitu kita pulang sekarang ma! Tapi.... bentar lagi aja deh ma, papa kan masih bobok!" Aku tidak sengaja menyentuh tangan papa yang ternyata dingin sekali. Aku pernah dengar dongeng kalau orang sekujur tubuhnya sudah dingin berarti sudah dipanggil sang pencipta. Untuk memastikannya aku memegang pipinya papa yang ternyata benar-benar dingin. Tapi aku berusaha menyangkalnya dengan berusaha menggapai jari kakinya. Ternyata dingin juga. Aku memandang kearah mama dengan wajah bertanya-tanya. Mama mendekatiku dan memelukku dengan sangat erat. Yang muncul dalam fikiranku ada satu cara lagi untuk memastikanya. Aku melepaskan pelukan mama dan langsung mengarahkan telunjuk mungilku ke arah papa walaupun dengan jinjit karena tempat tidur papa terlalu tinggi melampaui tinggi badanku, Uswa biasanya panggilan kesayangan aku untuk mempersingkat namaku yang indah Uswatun Hasanah, imut, tembem, manis, dll deh pokoknya.
Yeah... kembali kepembicaraan kita semula! Maklumlah aku masih berumur enam tahun. So untuk ukuran tempat tidur papa itu masih terlalu tinggi bagiku. Aku tidak merasakan hembusan nafas papa dari hidung papa yang seindah para pemain Bollywood yang diwariskan ke aku, anak kandungnya.
Tanpa pikir panjang aku langsung meninggalkan ruangan papa yang terasa semakin mencekam batinku. Dengan harapan dongeng yang pernah ku dengar itu salah atau hanya sebuah hayalan manusia pada umumnya. Aku berlari sekuat tenaga lalu terhenti di suatu taman yang sangat indah yang belum pernah ku kunjungi sebelumnya karena jantungku sudah nggak sanggup menahan detak jantungku terlalu kencang berdetak dan keringat dan air mata pun sudah membasahi pakaianku. Aku pun mencari tempat duduk di tengah taman itu. Bagiku taman itu tepat untuk persinggahanku sementara. Aku tidak tau tepatnya dimana taman itu. Entah aku sudah di luar kota atau masih di Jakarta yang jelas aku sudah sangat lelah. Huft... pikiranku kacau dan melambung memikirkan kenangan indah yang pernah kurajut bersama papa. Aku tidak sanggup untuk menerima cobaan ini. Aku tertidur di taman indah itu karena terlau lelah berlari dan menanggis.
Keesokannya aku sudah berada dirumah. Dengan sangat terkejut dan heran aku bertanya ke mama yang terlihat sangat lesu menangis apalagi mama sedang hamil tiga bulan. Mama bilang om Rudi yang menemukanku.
Aku melihat papa berbaring di ruang tamu dengan wajah tersenyum tapi senyuman pucat ditutupi kain putih dan batik yang sudah siap untuk di bawa ke pemakaman. Aku berusaha bersiap dewasa tapi harus ku akui itu tidak mudah selain karena faktor usia yang terlalu kecil.
Aku mengantarkan papa ketempat tidur beliau yang terakhir sebelum beliau dipanggil untuk menikmati surgaNya Allah. Aku berusaha meyakini diriku kalau ini yang terbaik buat kami.
****
Enam bulan pun akhirnya bisa aku dan mama jalani tanpa papa. Hari kelahiran adikku pun berlangsung. Mama berusaha sendiri di ruang operasi beda ketika melahirkanku yang ditemani ayah. Aku mendapatkan adik perampuan cantik sama pesis sepertiku. Kecantikannya turun dari aku. hahaha... . Aku berharap ini akhir dari cobaan yang ku derita. Tapi tidak sesuai dengan garis takdirku yang sebenarnya. Itu hanya menjadi harapanku belaka. Ternyata kehidupan tersulit yang telah lewat itu cuman permulaan saja. Allah hanya memberikan kami dua bulan waktu bersama adikku, Mai Muliani namanya. Adikku bukan meninggal tapi diculik. Entah apa alasan si penculik menculik adikku yang tidak berdosa itu harus menanggung derita sekejam and sekeji itu. Mama sudah melaksanakan kewajibannya mencari dan melapor ke polisi tentang kejadian itu. Lima bulan pencarian pun masih tidak ada tanda-tanda keberadaanya.
Mama yang sebenarnya belum mengiklaskan kepergian papa sudah ditambah lagi beban fikiran dan moral yang berat atas terculiknya adikku itu. Mama sangat terpukul. Mama sudah beberapa kali ketahuan sedang mencoba bunuh diri, entah apa yang ada difikiran mama. Beliau sama sekali tidak memikirkan nasib aku kalau hidup sebatang kara. Mama juga tidak memikirkan masa depan aku kelak. Mama pun akhirnya menyusul kepergian papa meskipun dengan cara tidak wajar. Memang sebelum meninggal, keluarga besarku pernah membawa beliau ke RSJ untuk perawatan intensif mental. Entah apa yang kurasakan ketika itu yang pasti aku merasa kekacauan dalam jiwaku. Aku tidak habis fikir kalau mama bisa melakukan hal nekat itu. Tapi ketegaran didadaku muncul seketika, mungkin ini anugrah terindah saat itu.
Sifat tegar dan pantang menyerah yang ditularkan papa mengalir mengisi kehidupanku untuk tetap mencari adikku itu. Dengan berkas-berkas yang ku punya aku menelusuri kota Jakarta yang amat padat ini. Waktu itu memang sangat cepat berlalu kalau diJakarta karena macet sudah menjadi rutinitas. Tapi tidak ada hasil yang memuaskan.
Aku menemukan seorang anak yang sama persis dengan data yang aku punya setelah umurku beranjak dua puluh tahun di salah satu panti asuhan di Semarang. Bayangin saja ada berapa panti, rumah sakit, bahkan desa  yang harus ku jelajahi di setap kota. Waktu yang sangat panjang dan sangat melelahkan bagiku untuk berjuang mempertahankan hidup demi menemukan adikku satu-satunya keluarga yang kuharapkan masih bisa menemani hari-hariku. Tapi aku tetap bersyukur karena takdir itu masih menjodohkan aku untuk bertemu dengan adikku lagi. Aku pun bersyukur tiada henti ketika itu aku sudah punya penghasilan yang layak untuk bisa menghidupi adikku sebatang kara. Kami hidup dengan bahagia. Aku masih selalu berharap ini adalah kebahagian yang abadi.

*****
THE END

Tidak ada komentar: