Senin, 17 Januari 2011

The Trouble of My Dream



The first short story from me in my blog.
Selamat menikmati.......


Namaku Tisya Myllanie Angellia panggilannya Tisya. Aku benci dipanggil angel karena pasti dibelakangnya pasti ada embel-embelnya yaitu dream karena aku tukang tidur dimanapun aku berada. Seperti biasa rutinitas hari ini harus kujalani dengan sepenuh hati. Mudah-mudahan hari ini bisa jadi hari yang special buatku. “Mandi dulu ah…!” kataku dengan penuh semangat empat lima. Aku mengambil handuk di sebuah gantungan yang ada di samping kamar mandi. Setelah mandi “huft.. segeerrrr! Matahari kok cerah banget ya? Nggak biasa? Ah.. tapi bagus lah!” gumamku bingung dengan matahari yang seakan menyambut pagiku dengan senyuman manisnya sambil mengeringkan rambutku dengan handuk.
Aku melihat jam ternyata sudah jam 05.55 WIB. Aku  langsung berlari membuka pintu. “Aha, Tepat!”
“Non, sarapannya sudah siap santap! Non juga sudah ditunggu mimi, pipi dan abang di ruang makan! Silahkan, non!” kata bibik yang selalu mengatakan hal yang sama di tempat dan jam yang sama, lebih tepatnya di jam 06.00 WIB setiap pagiku. Dan karena kebiasan itu, di tempat dan jam sama pula aku selalu on time membukakan pintu untuk bibik agar dia bisa berbicara bertatapan denganku sambil aku menirukan gaya bicaranya si bibik yang sudah amat melekat di benakku. Namanya bik Inah, dia  kocak banget, nggak ada marahnya. Hahaha…
“Yoa, bibikku..!”
Aku langsung menyerbu ruang makan. Tidak seperti biasa, seperti ada magnet yang sangat kuat menarikku ke ruang makan. Biasanya ruang makan itu menjadi tempat yang menyeramkan bagiku, karena disitu aku melihat ketiga anggota keluargaku asik menikmati hidangan masing-masing tanpa ada saling tegur sapa.
“Pagi!” ujarku setiap pagi sebelum memasuki ruang makan. Entah kata pagi itu kuucapkan untuk siapa, yang pasti untuk semua orang yang mendengarkannya. Sebelum aku menularkan kata sapaan yang tidak jelas tujuannya itu ruang makan setiap pagi sangat dingin. Sunyi sekali, detikan jam dinding pun terdengar sangat kencang rasanya di kupingku. Aku tidak tahu bagaimana pendapat mereka tentang detikan jam itu. Entah mereka merasakan hal yang sama denganku atau tidak. 
“Pagi Tisya sayang, sini duduk, cepetan sarapan! Ntar kamu telat sayang!” kata Mimi menyambutku di ruang makan. Beda dengan hari-hari kemarin. Biasanya hanya mengatakan “Pagi..” dengan wajah arogannya tentunya.
“Sayang?” gumamku sambil melangkahkan perlahan kaki mungilku.
Mimi mengoleskan selai roti dan Pipi menuangkan susu coklat kesukaanku ke gelas yang sudah disediakan bibik sedangkan abangku menyediakan tempat duduk. Kegiatan yang mereka lakukan itu untukku.
Aku  binggung tapi aku berusaha mengabaikan pikiran dan pertanyaan yang sangat membingungkanku terhadap perlakuan mereka terhadapku dengan menghembuskan nafas panjang. Aku tidak takut untuk menghembuskannya karena aku yakin mulutku sudah tidak ada aroma ilerku lagi. Hehehe… Aku duduk lalu menikmati roti dan meminum susu itu. Tapi kebingunganku itu meresahkanku. Aku memperhatikan setiap gigitanku yang ada rotiku. Begitu juga dengan susu, aku perhatikan setiap tegukannya. Bahkan aku berdiri lagi dari tempat dudukku hanya untuk memeriksa keadaan kursi yang ku duduki itu. Tapi ironisnya aku tidak menemukan sedikit pun kejanggalan.
“Ada apa, sayang? Kamu nggak suka rotinya? Mau dibeliin yang lain? Biar mimi panggilin bibik!” Tanya mimi. Pertanyaan Mimi itu semakin membuatku bingung.
“Iya sayang.., Susunya nggak enak? Biar pipi bilang ke bibik beliin yang baru?” Tanya pipi bingung dengan tingkahku. Belum sempat aku menjawab pertanyaan mimi, malah si pipi nambahin pertanyaan membingungkan lagi.
“Iya dek, kenapa sama kursinya? Rusak? Tukeran sini!” Tanya abang yang semakin membuatku bingung.
Aku hanya memperhatikan mereka satu persatu tanpa menjawab pertanyaan berderet yang mereka tanyakan kepadaku itu.  Aku hanya menggaruk kepalaku yang tiba-tiba gatal dan menekuk otot-otot mukaku dengan tenaga dalam. Hahaha.. lebayyy! “Aneh banget ya ini hari?!” gumamku bingung.
Selesainya sarapan, mimi membungkuskan roti ketoples bekalku, pipi juga menuangkan susu kedalam botol minumanku. Lalu mereka mengantarkanku kemobil yang sudah disiapkan pak Narto supirku. Bahkan bukan pak Narto yang membawakan bekal dan membukakan pintu mobil untukku, tapi pipi, mimi dan abangku yang berebut untuk membukakannya.
Setelah masuk kedalam mobil aku pun masih merasakan kebingunganku itu. Aku tanya ke pak Narto tentang semua itu, tapi dia bilang “Itukan sudah biasa!”. Aku makin bingung, rasanya ini otak udah mau pecah karena terlalu bingung.
Biasanya semua kegiatan yang mereka lakukan itu aku kerjakan sendiri tanpa bantuan sedikit pun dari mereka. Bahkan aku mendefenisikan arti rumah itu hanya untuk tempat tidur yang sangat membosankan, menyeramkan, tanpa ada perlindungan dan kasih sayang. Keluarga yang nyata buatku itu hanya sahabat-sahabatku. Mereka selalu ada buatku, mensuportku dan selalu menenangkanku. Kalau dibandingin rumah sih, jauh banget!. Dirumah, kalau aku sakit hanya mereka anggap hal biasa tanpa ada yang mencemaskanku.
Aku  sempat menangisi setiap detiknya kehidupanku yang sangat berbeda dengan keluarga yang lain pada umumnya itu. Aku juga pernah tanya ke bibik apa aku anak kandung mereka atau bukan. Bibik jawab iya, aku anak kandung mereka. Bibik telah mengabdi dengan keluargaku sejak pipi dan mimi baru menikah jadi bibik tau persis setiap menitnya keadaan rumahku.
Aku nggak habis pikir, gimana caranya mimi dan pipi bisa memutuskan untuk menikah sampai bisa punya dua anak?. Tapi sepertinya cuman aku yang merasakan hal ini. Buktinya abangku sifatnya jiplak banget sama pipi dan mimi. Makanya aku meragukan kehadiranku didunia bukan karena faktor yang sudah beberapa kali aku bahas bersama bibik itu. Tapi entah apa yang mempengaruhi atau bahkan meracuni fikiran bibik untuk selalu mengabdi di keluarga nggak jelas ini, yang jelas dia sudah kebal akan sikap cuek kedua orang tuaku.
Sesampainya disekolah, aku jalan sambil berfikir memikirkan kejadian dirumahku itu.
“Heh, Tisya, kenapa melamun?” Tanya sahabatku, Nichta namanya yang membangunkan aku dari lamunanku.
“Hehehe…! nggak ada apa-apa kok!” jawabku singkat dengan senyuman manis walau agak terpaksa.
“Huft… ya udah kalau ga mau cerita! Oh ya, lu dicariin Edri mulu tuh!” Kata Nichta yang membangungkan semangat empat limaku lagi. Edri itu ketua kelasku. Dia orang yang paling tenar di sekolahku. cowok paling keren deh pokoknya...!
“Ah… yang bener lu ta?” tanyaku nggak percaya.
“Ya udah kalau nggak percaya!” ujar Nichta beranjak meninggalkanku.
“Eitz…. Aku percaya kok! Tapi… lu benerankan?” Tanyaku lagi sebagai kepastian.
“Huft.. capek bener ya ngomong ama lu…” jawabnya kesal lalu meninggalkanku begitu saja.
Ketika aku behayal Edri menemuiku dengan membawakan secarik kertas berwarna pink dan ingin mengungkapkan sesuatu.
Tiba-tiba “Woi…….!” teriakan satu kelasku tepat ditelingaku itu membangunkanku. “Woi, Tisya, bangun loe, ne dah bel pulang! Gila bener loe ya, loe dah tidur 4 jam, tau? mau jaga sekolah apa loe?” kata Edri yang memang berada disampingku tapi bukan untuk memuji. “Ne buat loe!” ujar Edri dengan wajah arogan nya. Edri juga membawakan secarik kertas atau lebih tepatnya amplop tapi bukan warna pink melainkan warna putih
“Apa ini? Ga usah pakek surat kalie, dri! Jujur aja lah, dri! Pasti aku terima kok! Tapi kok ada cap sekolah sih? Biar nggak ketauan yang lain ya? Ya udah deh nggak papa!” kataku dengan sangat pede.
“Istzzz…. Nggak usah banyak ngehayal deh loe! Baca, terus langsung ke kantor kepsek! Kepsek yang mau langsung hukum loe!” Ujar Edri kesal dan semakin arogan.
“Ahg, jangan bohong dong dri?!” Aku pun langsung membacanya dengan seksama. Didalamnya tidak ada kata cinta melainkan surat panggilan dan peringgatan dari kepsek! Yeah…. Hukuman toh! Aku kirain…..? hufftttt,,,,....!” kataku lemas.
Edri pun langsung pergi meninggalkanku. Edri pun malas mendengar hayalan atau mimpi-mimpi 4 jam yang berlalu tadi.
“Yeah… jadi yang tadi mimpi semua? Aku diperlakukan bak seorang putri hanya berlangsung selama 4 jam saja. Semustinya itu memang aku dapatkan dirumahku!” gumamku sedih. “huft,,,,.... hanya dalam mimpi. Pantesan aneh banget ya! Kalau gitu mendingan ga usah dibangunin selamanya lagi dah aku! Suara mimi yang jarang pernahku dengar itu terdengar sangat indah begitu juga dengan suara pipi dan ayah! Nikmat banget kehangatan keluarga yang gua rasain tadi! hufttt... kenapa cuman mimpi sih..! Sebel banget deh! Trus, secarik amplop pink itu juga mimpi? Hu..uuu….” gumamku berkali-kali sangking jengkel dan sedih. “Eee... Setelah bangun tidur dikasih surprise dari pak kepsek! hem... ya itu hukuman...! Huft kesel banget aku!” ujarku semakin kesal. Memang sih aku sudah terbiasa dengan hukuman pak kepsek atau siapapun guru yang sedang piket karena aku sering telat dan tidur dikelas. Bahkan ke populeranku karena hobi itu bisa mengalahkan kepopuleranya ketua OSIS. Aku sudah terbiasa dengan hobi berhayalku tingkat tinggi tapi yang ini bener-bener a nice  dream banget deh!. Oh God tolong atasi penyakit mimpi indahku! Mimpi itu ternyata nggak ada yang enak, mimpi buruk apalagi. Amit-amit deh ihg…! Tapi aku bersyukur juga deh karena kalau nggak dalam mimpi pasti aku nggak akan pernah merasakan hal yang tadi kurasakan. Bersyukur itu ternyata lebih nikmat dari pada mengeluhkan semua beban yang kita rasakan. That is not impossible untuk terjadi walaupun aku nggak tau kapan waktu tepatnya. Aku hanya berpasrah dan tentunya selalu berharap pada My God. Penyemangat empat limaku selalu muncul disaat aku membutuhkannya. Entah apa bentuknya yang perting itulah yang bisa membuatku bisa menjalani hari-hari suramku disemua tempat.
-The End-

Tidak ada komentar: